Tauhid termasuk rukun pertama dari Ushuluddin. Tauhid adalah meyakini bahwa Tuhan semesta alam adalah Esa. Ia tidak tersusun dari bagian dan sifat-sifat(-Nya).
Kami akan menyebutkan sebagian argumentasi mengenai hal ini.
Ketika kita memperhatikan seluruh makhluk yang berada di alam semesta ini, kita akan memahami bahwa di dalamnya terdapat sebuah keteraturan khusus yang mendominasinya. Meskipun di antara spisies makhluk tersebut terdapat perbedaan dan kontradiksi yang nyata, serta memiliki perbedaan dalam segi kualitas dan kuantitas, akan tetapi mereka semua saling memiliki keterkaitan antara satu dengan yang lainnya, layaknya anggota badan, dan diatur oleh satu sistem dan undang-undang.
Jelas bahwa kesatuan sistem dan susunan yang khas ini tidak akan terealisasikan kecuali dengan keesaan pencipta. Di dalam al-Quran Allah berfirman:
وَمَا كَانَ مَعَهُ مِنْ إِلَهٍ إِذًا لَذَهَبَ كُلُّ إِلَهٍ بِمَا خَلَقَ وَ لَعَلاَ بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ
“Dan tidak terdapat tuhan lain bersama-Nya. Jika demikian, niscaya setiap tuhan akan pergi membawa ciptaannya (ke suatu tempat tersendiri dan ia akan mengaturnya) dan sebagian dari mereka akan lebih tinggi dari lainnya.”[1]
Dengan kata lain, meskipun seluruh makhluk alam semesta ini memiliki bentuk yang beraneka-ragam dan hakikat yang berbeda, akan tetapi mereka mengikuti satu aturan, dan setiap dari mereka sesuai dengan kemampuan wujudnya menempuh jalannya masing-masing. Atas dasar ini, mereka terjaga dari kehancuran dan kerusakan. Hal ini tidak mungkin terjadi kecuali dengan adanya keesaan pencipta mereka.
Di dalam al-Quran Allah telah mengisyaratkan kepada argumentasi ini seraya berfirman:
لَوْ كَانَ فِيْهِمَا آلِهَةٌ إِلاَّ اللهَ لَفَسَدَتَا
“Seandainya di dalam langit dan bumi itu terdapat tuhan-tuhan selain Allah, niscaya keduanya akan hancur berantakan.”[2]
Ya! Dengan merenungkan diri sendiri, seluruh binatang yang bernyawa, pegunungan, padang sahara, hutan, lautan, bumi, langit, matahari, bintang-gumintang, siang dan malam, pergantian musim dalam setahun ... dan keteraturan yang mendominsainya, kita akan yakin bahwa seluruh alam semesta ini dengan sistemnya yang teratur dan menakjubkan itu adalah ciptaan seorang Pencipta Yang Maha Esa dan tak bersekutu. Ia telah bersaksi atas keesaan diri-Nya dalam firman-Nya:
شَهِدَ اللهُ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ
“Allah bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Ia.”[3]
Ia juga telah menyifati diri-Nya dengan keesaan dan ketidakbersekutuan seraya berfirman:
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ * قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ * اَللهُ الصَّمَدُ * لَمْ يَلِدْ وَ لَمْ يُوْلَدْ * وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang * Katakanlah: ‘Ia adalah Allah Maha Esa * Allah yang tidak membutuhkan kepada selain-Nya dan selain-Nya membutuhkan kepada-Nya * Ia tidak beranak dan tidak diperanakkan * Dan tiada seorang pun yang serupa dengan-Nya.”
Amirul Mukminin Ali as pernah berpesan kepada putra beliau, Imam Hasan as:
وَ اعْلَمْ يَا بُنَيَّ أَنَّهُ لَوْ كَانَ لِرَبِّكَ شَرِيْكٌ لَأَتَتْكَ رُسُلُهُ وَ لَرَأَيْتَ آثَارَ مُلْكِهِ وَ سُلْطَانِهِ وَ لَعَرَفْتَ أَفْعَالَهُ وَ صِفَاتِهِ، وَ لَكِنَّهُ إِلَهٌ وَاحِدٌ كَمَا وَصَفَ نَفْسَهُ
“Wahai putraku! Ketahuilah jika Tuhanmu memiliki sekutu, para utusannya juga pasti datang kepadamu, engkau akan melihat tanda-tanda kerajaan dan kekuasaannya dan mengenal pekerjaan dan sifat-sifatnya. Akan tetapi, Ia adalah Tuhan Yang Maha Esa seperti Ia telah menyifati diri-Nya.”[4]
Ya! Alam semesta ini memiliki Pencipta Yang Maha Esa, Maha Bijkasana dan Maha Kuasa. Seluruh wujud, kekekalan dan perputaran alam semesta ini berasal dari-Nya. Tidak satu pun makhluk yang dapat keluar dari kekuasaan-Nya, dan Ia adalah Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Ia tidak pernah menciptakan sesuatu dengan sia-sia. Ia tidak terbentuk dari materi. Ia adalah Maha Tunggal dan Maha Tak Terbatas. Ia mengetahui segala sesuatu. Ia menguasi seluruh alam semesta. Ia ada dan akan selalu ada.
Proses Perjalanan Ketauhidan
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal (Ulul Albab), (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata) Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka periharalah kami dari siksa neraka (QS. Ali Imran :191-192).
Kalau anda perhatikan ayat di atas, disebutkan orang-orang yang berakal adalah orang yang ingat kepada Allah (sadar akan Allah), kalimat ini di tempatkan pada awal sebelum berfikir (merenungkan langit dan bumi). Dan kedudukan kalimat yadzkurunallah sebagai ma'tuf (tempat bersandarnya kalimat sesudahnya) dengan disambung kata "wa" (dan) menunjukkan kata yadzkurunallah merupakan dasar dari segala ilmu pengetahuan karena yadzkurunallah (ingat kepada Allah) menghasilkan intuisi atau ilham yang merupakan pangkal ide-ide besar bagi yang ingin merenungi alam semesta.
Mengapa pada ayat ini menempatkan "berfikir" setelah "mengingat Allah" bahkan kedudukannya jauh lebih rendah dari pada kesadaran (ingat). Secara universal kata "ingat" saya terjemahkan "kesadaran", karena ingat atau kesadaran bukanlah berfikir.
Pertama, apakah sebenarnya berfikir? Secara umum setiap perkembangan dalam idea, konsep dan sebagainya dapat disebut berfikir. Umpamanya, jika seseorang bertanya kepada saya, apakah yang sedang kamu pikirkan? Mungkin saya menjawab saya sedang memikirkan calon istri saya yang berada sangat jauh di luar kota. Hal ini berarti bahwa bayangan, kenangan, kerinduan, kecintaan dan sebagainya hadir dan ikut mengikuti dalam kesadaran saya. Karena itu maka definisi yang paling umum dari berfikir adalah perkembangan idea dan konsep. Kalau anda perhatikan sebelum terjadi proses berfikir, yang mula-mula muncul adalah kesan, yaitu keadaan rindu, perasaan, dan keadaan kecamuk di hati. Kemudian barulah kita mengamati, memperhatikan, mengapa hatiku gelisah begini, mengapa perasaan tidak bisa dikendalikan dst.
Akan tetapi bagaimana pengamatan dan analisa terhadap keadaan seperti itu akan membuahkan pengetahuan bagi kita? Seseorang mungkin berpikir bahwa objek yang ingin kita ketahui sebenarnya sudah ada, sudah tertentu (given) dan sudah dialami, jadi di sini tak diperlukan adanya pemikiran, yang harus dilakukan hanyalah sekedar membuka mata kita atau memusatkan perhatian (intidhzar) kita terhadap objek tersebut itulah yang disebut berfikir.
Mari kita kembali kepada persoalan rasa rindu tadi, dimana objek yang ingin di ketahui sudah ada (baca: dirasakan) yang harus disadari adalah bahwa objek tersebut tak pernah sederhana. Biasanya objek itu sangat rumit. Mungkin mempunyai beratus-ratus segi, aspek, karakteristik dan sebagainya. Pikiran kita tak mungkin mencakup semua dalam suatu ketika. Dalam rangka untuk mengenal benar-benar obyek semacam itru, seseorang harus dengn rajin memperhatikan semua seginya, membanding-bandingkan apa yang telah dilihatnya, dan selalu melihat serta menganalisis objek tersebut dari berbagai pendirian yang berbeda. Kesemuanya ini adalah BERFIKIR.
Berbeda dengan jiwa. dia mempunyai sensasi dan keadaan yang datang tidak melalui proses berfikir, seperti rasa cinta rasa rindu dan rasa benci - semua datang tanpa perantara berfikir maupun belajar terlebih dahulu. Keadaan itu muncul begitu saja kemudian fikiran memperhatikan sensasi fenomena itu - akan tetapi jiwa merasakan dan mengerti secara sempurna.
Jiwa bisa membedakan mana yang bisa dirasakan enak (baik) dan yang dirasakan tidak enak (buruk). Coba anda perhatikan seorang bayi yang bisa menolak (menangis) ketika merasakan tidak enak, dan akan tersenyum ketika menerima sesuatu yang menyenangkan. Padahal bayi tersebut tidak pernah belajar tersenyum dan menangis, dan tidak pernah tahu proses berfikir sebelumnya untuk itu. Keadaan ini membantah pendapat bahwa melakukan sesuatu harus dipikirkan terlebih dahulu, keadaan itu begitu saja muncul tanpa melalaui proses berfikir.
Mungkin saat pertama kali anda mengalami rasa cinta pertama, tidak menyadari dari mana rasa itu muncul, sebelumnya rasa itu tidak pernah anda pelajari dan terpikirkan. Keadaan itu tiba-tiba menyelimuti hati dan perasaan dan berakibat kepada gejala-gejala fisik yang menunjukkan sensasi itu. Letupan-letupan itu anda bisa rasakan tanpa terencana, kemudian barulah pikiran anda mengamati fenomena rasa itu, yang di sebut berfikir.
Pengertian yang dimaksud adalah bahwa manusia memhami apa yang baik dan yang buruk serta ia dapat membedakan keduanya dan selanjutnya mengamalkannya. Pengertian baik dan buruk tidak di lalui oleh pengalaman, akan tetapi telah ada sejak pertama kali ruh ditiupkan.
"Demi jiwa serta penyempurnaannya, maka Allah mengilhamkan kepada
jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaan." (QS. Asy Syams : 7-8)
Imam Al Ghazaly menamakan pengertian apriori sebagai pengertian "Awwali", dari mana pengertian-pengertian tersebut diperoleh, sebagaimana ucapannya: "pikiran menjadi sehat dan berkeseimbangan kembali dan dengan aman serta yakin dapat menerima kembali segala pengertian-pengertian awwali dari akal itu. Semua itu terjadi tidak dengan mengatur alasan atau menyusun keterangan, melainkan dengan Nur (cahaya / pencerahan / kesadaran tinggi) yang dipancarkan Allah Swt. ke dalam batin manusia."
Disini Al Ghazaly mengembalikannya ke dasar pengertian awwali yaitu pengertian ilahiyah (ilham). Sedangkan plato menyebutnya "idea", - ia mengungkapkan bahwa idea hakekatnya sudah ada, tinggal manusia mencarinya dengan menenangkan pikiran atau disebut mencari inspirasi bagi seniman. Jelasnya idea bukan timbul dari pengalaman atau ciptaan pikiran sehingga menghasilkan idea.
Islam meletakkan jiwa/ hati sebagai pusat kesadaran manusia, bukan pikirannya.
"Apakah mereka tidak pernah bepergian di muka bumi ini supaya hatinya tersentak memikirkan kemusnahan itu, atau mengiang ditelinganya untuk di dengarkan? sebenarnya yang buta bukan mata, melainkan "HATI" yang ada didalam dada." (QS. Al Hajj: 46)
"Memang hati mereka telah kami tutup hingga mereka tidak memahaminya, begitu pula liang telinganya telah tersumbat." (QS. Al Kahfi:57)
"Apakah mereka tidak merenungkan isi Alqur'an ? atau hati mereka yang terkunci?" (QS. Muhammad :24)
"Jangan turutkan orang yang hatinya telah Kami alpakan dari mengingat Kami (dzikir), orang yang hanya mengikuti hawa nafsunya saja, dan keadaan orang itu sudah keterlaluan." (QS. Al Kahfi: 28)
"Sesungguhnya telah Kami sediakan untuk penghuni neraka dari golongan
jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak menggunakannya untuk memahami ayat-ayat Allah, mereka mempunyai mata, tidak dipergunakan untuk melihat, mereka mempunyai telinga tidak dipergunakan untuk mendengar, mereka itu seperti binatang ternak, bahkan lebih sesat lagi, mereka adalah orang-orang yang alpa (tidak berdzikir)." (QS. Al Araaf: 179).
Penjelasan Allah mengenai pemahaman bukanlah dari fikirannya akan tetapi dari hatinya atau jiwanya. Karena jiwa itulah yang menangkap pengertian atau pemahaman yang mengalir berupa intuisi atau ilham. Barulah muncul pengamatan dan analisa yang kemudian disebut berpikir/pikiran. Jadi islam sangat mengutamakan kesadaran jiwa, karena jiwa lebih luas dan cerdas dari pada pikiran. Untuk itu pikiran hanyalah mengikuti keadaan jiwa, bahkan kadang pikiran tidak mampu mengungkapkan keadaan jiwa. Belakangan ini kita telah mendengar bahwa jiwa lebih memiliki potensi pengetahuan yang maha luas dari pada pikiran. Hal ini telah di akui oleh para Ahli psikologi modern.
Mari kita perhatikan pada surat Al Araaf: 179 dasar-dasar ontologi ilmu yang dikembangkan sebagai analisa pengetahuannya adalah, hati, telinga, mata dst. Jadi Islam mendahulukan analisanya melalui ilham / intuisi, kemudian berfikir, memperhatikan (intidhzar), afala
ta'qiluun, afala tubshirun, afala tatafakkarun dst.